Sabtu, 06 November 2010

Kemacetan di Ibukota

Akhir-akhir ini saya semakin stress. Mengapa? Tampaknya untuk hidup nyaman di dekat ibukota pun sekarang hampir dikatakan mustahil. Sebagai warga Depok yang berbatasan dengan DKI Jakarta saya sudah merasa tidak nyaman lagi. Banjir, kemacetan, polusi dan gangguan lainnya kini tampak semakin nyata. Bayangkan saja. Untuk mencapai pusat ibukota dari Depok, kita dibuat harus bekerja keras. Tidak ada lagi kawasan di Megapolitan Jabodetabek yang dapat dikatakan bebas macet. Keluar dari kota Depok pun pada pagi hari, kita sudah menemui kemacetan di kawasan Universitas Pancasila. Dari situ kita akan berjalan sangat perlahan bahkan sampai tiba ke tempat yang akan dituju.


Sebuah negara tentunya harus memiliki ibukota yang dapat berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat hiburan dsb. Di Indonesia, Jakarta sebagai ibukota Indonesia menanggug beban yang sangat berat, yaitu sebagai pusa pemerintahan, pusat bisnis dan pusat hiburan. Sebuah daerah dapat dikatakan layak untuk ditinggali jika kota tersebut memiliki apa yang di sebut sebagai daya dukung lingkungan. Dalam kasus DKI Jakarta, daya dukung lingkungan yang dimiliki Jakarta tidak sebanding dengan beban yang dapat ditanggungnya. Apa yang dimaksud dengan daya dukung lingkungan? Daya dukung lingkungan adalah suatu kemampuan yang dimiliki daerah tertentu untuk menjamin keberlangsungan hidup makhluk yang hidup di dalamnya. Jumlah penduduk Jakarta yang sudah mencapai 9,5 juta (sensus 2010) tampaknya tidak seimbang lagi dengan luas daerah Jakarta. Terlebih pada siang hari, akan berdatangan orang-orang yang berasal dari kota-kota satelit di dekat Jakarta untuk bekerja di Jakarta.



Apa bedanya dengan kota-kota besar lainnya dipenjuru dunia. Kita ambil contoh tokyo. Dengan jumlah penduduk yang bahkan lebih dari 13 juta, saya tidak pernah mendengar adanya kemacetan, banjir ataupun kesemerautan disana. Mengapa? Tata letak, cetak biru dan peraturan yang diterapkan disana berjalan dengan baik. Dikota-kota besar dunia seharusnya tidak ada lagi orang yang membawa kendaraa pribadi secara bersamaan. Itulah akar kemacetan. Jika kita melihat kota-kota besar dunia, kita akan sangat jarang melihat orang-orang membawa sebuah mobil/motor yang ditumpangi satu orang. Masyarakat disana sangat senang menggunakan fasilitas kendaraan umum. Subway, MRT, busway dan kendaraan umum lain menjadi sebuah kebutuhan disana.




Berbeda dengan Indonesia. Sistem transportasi yang sangat buruk membuat sebagian masyarakat memilih untuk membawa kendaraan pribadi. Penjualan kendaraan bermotor setiap hari semakin meningkat. Untuk di Jakarta saja, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 1000 kendaraan per harinya. Saya sempat membaca keluhan Gubernur DKI Jakarta tentang pertambahan jumlah kendaraan per harinya. Beliau mengatakan, "Jakarta tiap hari tambah 1500 kendaraan per harinya. Produsen senang, namun yang diomelin siapa?" Bayangkan saja, sang Gubernur pun pusing dibuatnya.




Salah satu kelemahan pemda DKI Jakarta adalah menerapkan tata kota atau cetak biru jangka panjang. Bayangkan saja, lahan terbuka hijau di Jakarta hanya tinggal kurang dari 10 persen. Padahal lahan terbuka hijau merupakan tameng Jakarta dalam menghadapi banjir. Jumlah mall di Jakarta bahkan melebihi jumlah mall di Malaysia. Padahal kita ketahui, jika dibangun mall maka daerah sekitarnya pasti akan macet pula. Manajemen lalu lintas yang kacau ditambah sifat orang Jakarta yang kurang patuh pada peraturan menambah daftar panjang penyebab kemacetan Jakarta. Kendaraan massal sudah mendesak untuk dibuat. Busway yang selama ini masih menjadi andalan ibu kota masih banyak dikeluhkan para pelanggan karena intesitasnya masih sangat jarang.


Isu pemindahan ibukota ke kota lain sempat menggema. Tapi apakah itu akan berhasil mengatasi masalah? Mental orang Indonesia yang tidak mau ribet dan kurang berpikir panjang seringkali ingin mengambil jalan pintas saja. Padahal modal untuk membangun sebuah kota baru tidaklah kecil. Kalau menurut saya,sebaiknya dibenahi dulu Jakarta. Kalau kota-kota besar dunia lainnya yang lebih banyak dan padat penduduknya saja bisa teratur, mengapa Jakarta tidak. Sekian tulisan saya, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar