Kamis, 04 November 2010

Demokrasi di Indonesia

Setelah 10 tahun menerapkan sistem pemerintahan berbasis Demokrasi, saya masih bertanya-tanya, apakah benar sistem yang berjalan sekarang adalah sistem yang dinamakan Demokrasi. Sistem demokrasi yang sekarang sudah jamak disebut-sebut, saya mengutip dari situs wikipedia mempunyai arti: " bentuk pemerintahan politik dimana kekuasaan berasal dari rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (perwakilan)". Jika merunut dari bahasa aslinya yaitu bahasa Yunani, kata demokrasi berasal dari dua kata berbeda yang dijadikan satu yaitu : δῆμος (dêmos) yang berarti rakyat dan kata κράτος (Kratos) yang berarti kekuasaan. Jadi jika digabungkan maka dapat diambil sebuah arti yaitu kekuasaan oleh rakyat. Dari arti yang sudah disebutkan diatas kita dapat simpulkan bahwa yang seharusnya berkuasa adalah rakyat.

Di Indonesia sistem yang kita anut adalah sistem demokrasi perwakilan yang berarti rakyat menempatkan wakilnya dalam sistem pemerintahan. Perwakilan dalam pemerintahan Indonesia dibentuk dengan nama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Mereka adalah wakil rakyat yang sejak tahun 2004 lalu dipilih langsung oleh rakyat. Yang selalu menjadi masalah dalam sistem Demokrasi ini adalah bahwa wakil hanyalah sekedar ucapan belaka, padahal kata yang lebih tepat adalah "penguasa". Dalam sebuah perbincangan dengan mahasiswa salah satu universitas negeri jurusan ilmu politik, saya mendapatkan sebuah pencerahan tentang arti Demokrasi. Menurut salah seorang teman saya itu, demokrasi yang murni hanya bisa dijalankan apabila rakyat yang menjadi penguasa mempunyai pendidikan yang sama rata. Analoginya seperti ini : ada 5 orang yang ingin memutuskan kemana mereka akan pergi jalan-jalan bersama. Jika semua memiliki pengetahuan yang sama apalagi mengenai tempat-tempat yang bagus untuk dikunjungi, maka akan terjadi proses demokrasi, dimana semua orang berhak mengungkapkan pedapatnya. Namun jika ada salah satu yang kurang pengetahuannya maka orang tersebut pasti akan mengikut saja kemana teman-temannya pergi. Itulah yang sekarang terjadi di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang kurang pendidikannya hanya menjadi penonton saja didalam sistem demokrasi yang dijalankan di negara ini.

Pemerintah membuat aturan yang tidak memihak kepada rakyat. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi representasi rakyat, malah seakan-akan tidak perduli lagi dengan sang boss yang sesungguhnya yaitu rakyat. Saya sebenarnya juga kurang setuju dengan kata "pemerintah", kata ini mengesankan bahwa rakyat adalah hamba yang dapat diperintah apapun. Rakyat selalu berada dalam posisi yang sulit, entah karena ulah "pemerintahnya" atau pun karena ulah "wakilnya". Uang rakyat yang seharusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat masih sering dikorupsi, undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat masih terus saja dibuat, keadilan untuk rakyat hanyalah slogan belaka, dan masih banyak lagi hal lain yang menunjukkan budaya demokrasi yang tidak baik dinegeri ini. Para penegak hukum yang seharusnya menjadi patokan untuk menegakkan hukum dinegrri ini malah menjadi pelanggar hukum.Tidak habis pikir dengan keadaan di Indonesia. Mengutip dari wikipedia, ada 4 ciri pemerintahan demokrasi :

  • Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung.
  • Adanya persamaan hak bagi setiap warga negara dalam segala bidang
  • Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara
  • Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Mari kita lihat satu persatu:
Dari poin 1, apakah masih ada keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan? Saya rasa para wakil sudah tidak ingat lagi dengan keluhan rakyat. Contohnya saja, uu no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyangkut soal outsourcing, itu adalah undang-undang yang jelas-jelas merugikan rakyat. Sudah banyak pekerja yang terkena dampaknya. Saya pernah mendengar cerita bahwa ada pekerja yang hanya dikontrak 1 tahun lalu baru berjalan 4 bulan sudah dikeluarkan tanpa alasan yang jelas. Apakah dalam mengeluarkan undang-undang ini DPR/presiden masih mendengarkan pendapat rakyat? Saya tidak bisa menjawabnya, hanya merekalah yang dibilang sebagai para "wakil" yang dapat menjawabnya.

Poin 2
Adanya persamaan hak bagi setiap negara dalam segala bidang. Saya rasa sudah sulit menemukan aplikasi kata-kata ini dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Contohnya saja, seorang koruptor yang jelas-jelas merampok uang negara hanya dihukum 2-5 tahun. Sedangkan seorang pencuri yang tidak bisa menyewa pengacara yang mahal, bisa dihukum sampai 10 tahun atau bahkan mati jika ketahuan dan dihakimi massa. Tragis memang.

Poin 3
Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap warga negara. Memang sudah ada kemajuan daripada jaman orde baru, dimana sama sekali tidak ada kebebasan berbicara maupun kebebasan lainnya. Namun kata "bagi setiap warga negara" tampaknya masih semu. Contohnya saja dalam hal beribadah. Sebuah rumah ibadah dapat dipersulit ijinnya oleh pemerintah setempat bahkan sampai bertahun-tahun. Sudah tidak asing bahwa cara paling gampang untuk mendirikan rumah ibadah adalah dengan menyuap petinggi-petinggi yang berurusan dengan hal itu. Contoh paling aktual adalah soal gereja HKBP di Bekasi dan Ahmadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan dalam hal kebebasan. Ibadah kepada Tuhan yang seharusnya menjadi hubungan yang bersifat vertikal antara Tuhan dan umat-Nya, mesti harus diganggu oleh sesamanya yang juga sebenarnya adalah umat beragama juga. Padahal ijin untuk membangun tempat-tempat yang sangat jelas merusak seperti diskotik, lokalisasi malah lebih mudah dibuat.

Poin 4
Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga pemerintahan. Dalam poin keempat ini memang salat satu yang sudah cukup nyata dilakukan. Namun angka golput yang tinggi apalagi dalam pilkada seharusnya menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah mengapa rakyat mulai malas untuk memilih para wakilnya. Praktek pilkada yang selalu kisruh dan menghabiskan banyak anggaran juga seharusnya ditinjau ulang, apakah pemilu masih menjadi pintu masyarakat sebagai pemegang pemerintahan yang sesungguhnya.
Demikianlah sebuah aspirasi dari mahasiswa yang peduli pada negeri ini. Mungkin masih banyak kekurangan di negeri ini, namun masih banyak hal-hal kecil yang dapat kita lakukan untuk membawa perubahan bagi negeri ini, misalnya tidak mengutuki/menjelek-jelekkan negeri ini, ikut pemilu/pilkada, menjaga fasilitas umum dan masih banyak lagi. Semoga tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar